Kamis, 07 April 2016

Resensi Film The Act Of Killing (Jagal)


Film : The Act Of Killing (Jagal)
Sutradara : Joshua Oppenheimer
Durasi : 122 menit



Film The Act Of Killing (Jagal) ini merupakan film dokumenter terbaik yang masuk nominasi di ajang Piala Oscar. Pada tanggal 7 April  2016 kami kelompok gotiao di berikan kesempatan untuk memutarkan film dokumenter ini didalam kelas, film ini menurut kami memang harus dilihat oleh para mahasiswa dan orang – orang tionghoa. Karena kita mahasiswa harus mengetahui mengapa ilmu itu terjadi, mengapa suatu masalah itu terjadi, dan bagaimana cara menyelesaikannya, kita harus melihat kembali dari awal dan mengetahui pondasinya. Dan difilm ini merupakan film yang memutarbalikan sejarah yang ada di Indonesia.
Film The Act Of Killing (Jagal) menceritakan peristiwa yang terjadi pada masa tertentu dalam sejarah Indonesia, yaitu peistiwa pembunuhan orang-orang komunis yang terjadi di Medan antara tahun 1965 sampai 1966. Cerita yang diungkapkan dalam film ini terasa begitu kuat karena dituturkan sendiri oleh para pelaku pembunuhan itu dengan memperagakan cara-cara mereka melakukan pembunuhan itu. Para pelaku pembunuhan itulah yang menjadi pemain di dalam film.
Tokoh utama The Act of Killing adalah Anwar Congo, seorang preman muda di tahun 1960an, yang bekerja sebagai pencatut karcis bioskop di kota Medan, Sumatera Utara. Dia dan teman-teman satu komplotannya merupakan para penggemar film-film Hollywood, yang bergaya seperti James Dean, dan bahkan sempat mengorganisir suatu kelompok penggemar aktor tersebut. Saat Partai Komunis Indonesia menyerukan boikot terhadap film-film Amerika maka pendapatan Anwar Congo dan teman-temannya langsung menurun drastis. Hal ini yang kemudian memicu kebencian mereka dan preman-preman lainnya terhadap kaum komunis. Saat militer merencanakan pembantaian fisik terhadap PKI, mereka bersandar pada bantuan dari para preman tersebut dan juga pada banyak unsur lumpen di berbagai kota. Mereka juga merupakan para pimpinan lokal dari geng politik para militer yang disebut sebagai Pemuda Pancasila. Mereka menjadi bagian dari apa yang dijelaskan buku sejarah Indonesia sebagai "Kampanye Patriotis". Hal ini membuka gerbang terhadap segala hal yang sebelumnya tidak mungkin dibayangkan akan dilakukan oleh manusia sebelumnya. Preman-preman ini, dengan menggunakan imajinasi sakit mereka, menjelaskan bahwa mereka terus menerus menemukan cara baru dalam menyiksa dan membunuh. Karena mereka sebelumnya telah membunuh banyak orang dan menyadari bahwa pembunuhan tersebut menyita banyak waktu maka mereka menemukan cara baru yang mereka anggap lebih efisien. Dalam film ini mereka juga menjalankan peran antara pelaku dan korban secara bergantian. Hal ini kemudian mengarah pada berbagai perbincangan dan refleksi yang mengejutkan.
Pemuda Pancasila adalah milisi sipil yang terdiri dari para preman yang disponsori pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta dan seringkali dikerahkan untuk menangani masalah keamanan dimana pihak kepolisian dianggap tidak efektif. Mereka adalah suatu jaringan kejahatan terorganisir dan milisi politik yang digunakan untuk mengintimidasi lawan-lawan mereka dan untuk mengintimidasi orang-orang kiri pada umumnya. Mereka merupakan organ pelengkap terhadap organ-organ represi negara lainnya. Indonesia penuh dengan segala macam milisi. Selain Pemuda Pancasila, juga terdapat banyak kelompok fundamentalis Islam yang aktif di tahun 1965-1966 dalam membunuhi orang-orang yang mereka anggap "atheis tak bertuhan". Walaupun mereka merupakan ancaman yang nyata dan berbahaya terhadap gerakan buruh dan tani serta terhadap kaum kiri pada umumnya, mereka langsung kehilangan kehebatannya begitu masa turun memenuhi jalanan.
Selama ini pembunuhan masal yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 dan 1966 tidak pernah menjadi berita di luar Indonesia. Adanya pembunuhan masal ditutup-tutupi dengan rapi. Jika film “Jagal” diputar di banyak negeri, film ini akan membuka mata orang-orang di luar negeri, sehingga dengan demikian dukungan internasional terhadap tuntutan para korban pembunuhan sedikit demi sedikit bisa dihimpun. Dari pemutaran “Jagal” di Stockholm dapat dilihat adanya perhatian yang cukup besar dari masyarakat setempat. Sambutan positif juga bisa dilihat dari kenyataan bahwa film “Jagal” menjadi berita di beberapa media di Swedia. Tekanan internasional terhadap penguasa Indonesia yang selama ini tidak mau mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah penting.
Film “Jagal” tidak bisa diputar terbuka di Indonesia. Masih terlalu banyak orang-orang, terutama militer dan politikus-politikus penerus Orde Baru, yang menentang pembunuhan masal pada tahun 1965 dan 1966 diungkapkan. Ketika laporan penyelidikan Komnas HAM tentang pelanggaran HAM dalam pembunuhan massal tersebut diumumkan, reaksi mereka sangat keras. Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengatakan pembunuhan itu dibenarkan untuk menyelamatkan negara dari komunisme.
Dengan film The Act Of Killing (Jagal) yang kami tayangkan depan kelas, kami kelompok Gotiao berharap kecil agar kita penerus bangsa Indonesia  bisa bersama berfikir untuk kearah mana negara kita akan bawa, dan harus bagaimana cara kita untuk merubah bangsa ini, memilih pemimpin yang berwibawa atau disegani. Film ini tidak mengharapkan perubahan terhadap sejarah yang pernah ada, akan tetapi film ini akan membuka mata kita dan membangunkan kita dari segala hal mimpi buruk kita, dan membawa kita kepada perubahan yang berarti.


Sumber :



0 komentar:

Posting Komentar