Film : The Act Of
Killing (Jagal)
Sutradara : Joshua Oppenheimer
Film The Act Of Killing (Jagal)
ini merupakan film dokumenter terbaik yang masuk nominasi di ajang Piala Oscar.
Pada tanggal 7 April 2016 kami kelompok
gotiao di berikan kesempatan untuk memutarkan film dokumenter ini didalam
kelas, film ini menurut kami memang harus dilihat oleh para mahasiswa dan orang
– orang tionghoa. Karena kita mahasiswa harus mengetahui mengapa ilmu itu
terjadi, mengapa suatu masalah itu terjadi, dan bagaimana cara
menyelesaikannya, kita harus melihat kembali dari awal dan mengetahui
pondasinya. Dan difilm ini merupakan film yang memutarbalikan sejarah yang ada
di Indonesia.
Film The Act Of Killing (Jagal)
menceritakan peristiwa yang terjadi pada masa tertentu dalam sejarah Indonesia,
yaitu peistiwa pembunuhan orang-orang komunis yang terjadi di Medan antara
tahun 1965 sampai 1966. Cerita yang diungkapkan dalam film ini terasa begitu
kuat karena dituturkan sendiri oleh para pelaku pembunuhan itu dengan
memperagakan cara-cara mereka melakukan pembunuhan itu. Para pelaku pembunuhan
itulah yang menjadi pemain di dalam film.
Tokoh utama The Act of Killing
adalah Anwar Congo, seorang preman muda di tahun 1960an, yang bekerja sebagai
pencatut karcis bioskop di kota Medan, Sumatera Utara. Dia dan teman-teman satu
komplotannya merupakan para penggemar film-film Hollywood, yang bergaya seperti
James Dean, dan bahkan sempat mengorganisir suatu kelompok penggemar aktor
tersebut. Saat Partai Komunis Indonesia menyerukan boikot terhadap film-film
Amerika maka pendapatan Anwar Congo dan teman-temannya langsung menurun
drastis. Hal ini yang kemudian memicu kebencian mereka dan preman-preman
lainnya terhadap kaum komunis. Saat militer merencanakan pembantaian fisik
terhadap PKI, mereka bersandar pada bantuan dari para preman tersebut dan juga
pada banyak unsur lumpen di berbagai kota. Mereka juga merupakan para pimpinan
lokal dari geng politik para militer yang disebut sebagai Pemuda Pancasila.
Mereka menjadi bagian dari apa yang dijelaskan buku sejarah Indonesia sebagai
"Kampanye Patriotis". Hal ini membuka gerbang terhadap segala hal
yang sebelumnya tidak mungkin dibayangkan akan dilakukan oleh manusia
sebelumnya. Preman-preman ini, dengan menggunakan imajinasi sakit mereka,
menjelaskan bahwa mereka terus menerus menemukan cara baru dalam menyiksa dan
membunuh. Karena mereka sebelumnya telah membunuh banyak orang dan menyadari
bahwa pembunuhan tersebut menyita banyak waktu maka mereka menemukan cara baru
yang mereka anggap lebih efisien. Dalam film ini mereka juga menjalankan peran
antara pelaku dan korban secara bergantian. Hal ini kemudian mengarah pada
berbagai perbincangan dan refleksi yang mengejutkan.
Pemuda Pancasila adalah milisi sipil yang terdiri dari para
preman yang disponsori pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta dan
seringkali dikerahkan untuk menangani masalah keamanan dimana pihak kepolisian
dianggap tidak efektif. Mereka adalah suatu jaringan kejahatan terorganisir dan
milisi politik yang digunakan untuk mengintimidasi lawan-lawan mereka dan untuk
mengintimidasi orang-orang kiri pada umumnya. Mereka merupakan organ pelengkap
terhadap organ-organ represi negara lainnya. Indonesia penuh dengan segala
macam milisi. Selain Pemuda Pancasila, juga terdapat banyak kelompok
fundamentalis Islam yang aktif di tahun 1965-1966 dalam membunuhi orang-orang
yang mereka anggap "atheis tak bertuhan". Walaupun mereka merupakan
ancaman yang nyata dan berbahaya terhadap gerakan buruh dan tani serta terhadap
kaum kiri pada umumnya, mereka langsung kehilangan kehebatannya begitu masa
turun memenuhi jalanan.
Selama ini pembunuhan masal yang
terjadi di Indonesia pada tahun 1965 dan 1966 tidak pernah menjadi berita di
luar Indonesia. Adanya pembunuhan masal ditutup-tutupi dengan rapi. Jika film
“Jagal” diputar di banyak negeri, film ini akan membuka mata orang-orang di
luar negeri, sehingga dengan demikian dukungan internasional terhadap tuntutan
para korban pembunuhan sedikit demi sedikit bisa dihimpun. Dari pemutaran
“Jagal” di Stockholm dapat dilihat adanya perhatian yang cukup besar dari
masyarakat setempat. Sambutan positif juga bisa dilihat dari kenyataan bahwa
film “Jagal” menjadi berita di beberapa media di Swedia. Tekanan internasional
terhadap penguasa Indonesia yang selama ini tidak mau mengakui adanya
pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah penting.
Film “Jagal” tidak bisa diputar
terbuka di Indonesia. Masih terlalu banyak orang-orang, terutama militer dan
politikus-politikus penerus Orde Baru, yang menentang pembunuhan masal pada
tahun 1965 dan 1966 diungkapkan. Ketika laporan penyelidikan Komnas HAM tentang
pelanggaran HAM dalam pembunuhan massal tersebut diumumkan, reaksi mereka
sangat keras. Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan mengatakan pembunuhan itu dibenarkan untuk menyelamatkan negara dari
komunisme.
Dengan film The Act Of Killing
(Jagal) yang kami tayangkan depan kelas, kami kelompok Gotiao berharap kecil
agar kita penerus bangsa Indonesia bisa
bersama berfikir untuk kearah mana negara kita akan bawa, dan harus bagaimana
cara kita untuk merubah bangsa ini, memilih pemimpin yang berwibawa atau
disegani. Film ini tidak mengharapkan perubahan terhadap sejarah yang pernah
ada, akan tetapi film ini akan membuka mata kita dan membangunkan kita dari
segala hal mimpi buruk kita, dan membawa kita kepada perubahan yang berarti.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar