Judul Buku : Peradaban Tionghoa Selayang Pandang
Penulis :
Nio Joe Lan
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun :
2013
Peradapan Tionghoa telah ratusan
tahun lamanya mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagian ajaran
filsafat karya sastra perayaaan hari besar, ilmu dagang, arsitektur, hingga
kulinernya telah berkembang dan menjadi bagian dari budaya Indonesia masa kini.
Nio Joe Lan (1904-1973), penulis
melayu Tionghoa terkemuka di zamannya, menuturkan dengan lugas dalam buku
“Pradapan Tionghoa Selayang Padang”makna berbagai leluhur atau adat kebiasaan
Tionghoa yang sering kita jumpai seperti : peringatan hari-hari besar Tionghoa,
makna warna dalam kebudayaan Tionghoa, pemujaan leluhur dan bakti anak kepada
orangtua, peristiwa duka cita dan suka ria Tionghoa, kaligrafi, dan perhitungan
shio
Membaca buku ini kita di ajak
melihat kembali akar peradaban yang menjadi salah satu unsur pembentukan budaya
Indonesia
Didalam buku ini pertama
menjelaskan nama Tionghoa. Nama Tionghoa terdiri atas 3-4 buah suku, dengan
adanya suku pertama nama Tionghoa seseorang digunakan untuk suatu cara untuk
mengenali sanak saudara, dengan cara mengertakan suku pertama nama orang tua
kepada anaknya. Lalu sebutan
kekeluargaan dalam masyarakat Tionghoa sangatlah penting. Orang Tionghoa
mempunyai sebutan-sebutan kekeluargaan terpenting, tetapi dalam sebutan-sebutan
keluarga berdasarkan dialek Hokkian, dialek Hakka berbeda maknanya satu sama
lain. Seorang Tionghoa menyebut orang lain yang lebih tua khususnya lelaki
dengan sebutan Engko, Empe, Encek, Pek-hu, meskipun tidak ada hubungan
persaudaraan tetapi kita dapat menghormati orang lain yang lebih tua dengan
mengangapnya sebagai Kakak dari Ayah.
Makna warna bagi kehidupan orang
tionghoa, warna sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Karena manusia memiliki
ketertarikan pada warna, maka tersusunlah simbol warna pada beberapa bangsa dan
agama. Warna Ungu unggul pada Zaman Chou (1027-21 SM) dalam sembahyang besar
disajikannya seekor kerbau yang berbulu Unggu. Kuning melambangkan warna
kekaisaran. Warna Merah melambangkan simbol Kebahagian, bahkan warna merah juga
mempunyai arti tersendiri dalam perayaan Tahun Baru Imlek, pernikahan, hari
ulangtahun dan kelahiran. Warna Putih melambangkan Simbol Perkabungan. Peranan
Warna biru bagi Orang tionghoa terutama bagi golongan sarjana dan dalam hal
kematian atau perkabungan. Dalam bahasa Tionghoa kata berwarna seringkali
diterjemahkan dengan tujuh warna. Kata “tujuh” dalam hubungan ini harus
diartikan semua.
Kepercayaan Tionghoa tentang apa
yang dipandang sebagai agama. Seperti pengajaran Kung Tze, Tiong Hoa Hwee Koan
dan konfusianisme, Taoisme Lao Tze, pemujaan berhala Budhistis di dalam rumah,
Kuan Yin, Taopekkong – pelindung, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan
sembahyang. Ini merupakan pengajaran atas kepercayan tersebut Orang Tionghoa
memiliki penjelasan tersendiri atas makna dari dilakukannya hal ini. Pada
dasarnya orang Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa ia memiliki perlindungan
oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Orang Tionghoa memiliki kebiasaan
untuk menghormati leluhurnya dengan cara menyajikan makanan untuk mendiang
orang yang telah meninggal. Hal ini sudah dilakukan sebelum zaman Kung Tze.
Dengan aggapan bahwa arwah manusia yang hidup terus akan dilindungi oleh arwah
leluhur. Orang Tionghoa menyebut bakti dengan sebutan “hao”. Bagi orang
Tionghoa bakti terhadap orang tua menunjukkan norma anak tersebut. Dalam pengajaran Kung Tze pemujaan
leluhur dengan memelihara abu dirumah merupakan bakti, kewajiban tersebut harus
diturunkan kepada anak laki-laki sebagai pewaris sehingga pada jaman ini
memiliki anak laki-laki diharuskan.
Kaligrafi yaitu ilmu menulis
huruf indah. Dalam menulis huruf tionghoa seseorang harus memiliki perasaan dan
dalam penulisannya menggunakan alat yang bernama ‘pit’ agar tulisan tersebut
terlihat indah.
Hari raya Tionghoa berhubungan
dengan hari ulang tahun dewa-dewa yang dipuja oleh bangsa tionghoa. Tetapi di
Indonesia tidak semua hari raya tionghoa dirayakan secara meriah. Hari raya
tionghoa yang biasanya dirayakan diIndonesia yaitu Imlek yang merupakan hari
tahun barunya orang tionghoa, Tjap Go Meh biasanya orang tionghoa melakukan
sembahyang ‘sam kai’ yaitu sembahyang kepada langit,bumi,dan manusia, Tjeng
Beng biasanya orang tionghoa membersihkan makam dan sembahyang dimakam leluhur,
Phetjun biasanya orang tionghoa merayakan dengan mengadakan perlombaan perahu
berbentuk naga diatas air.
Suka ria Tionghoa yang menjadi
alasan dalam bersuka ria adalah peristiwa kelahiran dan pernikahan. Dalam
kelahiran didalam suasana bergembira, orang tionghoa mempercayai beberapa
pantangan sebelum kelahiran itu terjadi. telur telur yang dimerahkan kulitnya
menjadi suatu pemberitahuan kepada sanak keluarga atas kelahiran seorang anak.
Dan perayaan mo-gue digelar untuk merayakan anak tersebut genap satu bulan
kelahirannya, setelah satu tahun dirayakan hari ulang tahun pertama anak itu
dengan dikenakannya pakaian yang serba baru. Menurut pandangan tionghoa, umur
sesorang bertambah pada saat tahun baru imlek dirayakan. Perayaan ulang tahun
orang tionghoa jika sudah dewasa maka anak-anaknya yang merayakannya sebagai
tanda bakti kepada orangtuanya, dimana dapat dilakukan shejit besar yakni
diatas umur 50 tahun seperti tahun ke-51, ke-61, ke-71 dan selanjutnya yang
berhubungan dengan angka satu dimana melambangkan kesepuluhan tahun yang baru.
Hadiah khas ulang tahun bangsa tionghoa adalah mishoa dan gula batu yakni
melambangkan suatu doa panjang umur. Selain kelahiran, suka ria terjadi pada
pernikahan. Upacara pernikahan orang tionghoa-totok berbeda dengan upacara
perkawinan tionghoa-peranakan. Pernikahan tersebut didasari oleh ‘Phe Dji’ perhitungan horoskop kedua pihak. Pakaian
mempelai pria ialah jubah biru dengan kopiah cetok dan mempelai wanita yang
berwarna merah marun beserta kembang goyang dan dilakukan cio-tau dan
sembahyang kepada tuhan ‘sam kai’ dan hanya boleh sekali. Pada jaman dahulu
dipantang keras menikah dengan sesama she karna dianggap pernikahan antara
sanak keluarga. She wanita tetap dipakai walaupun sudah menikah.
Disamping suka ria juga duka
cita, dialami seseorang jika sanak keluarganya jatuh sakit dan selain itu
adalah kematian. Di Indonesia, ada orang tionghoa yang sudah menyediakan satu
buah peti jenazah, dengan maksud agar tidak merepotkan bila terbit suatu
kebutuhan akan itu. Dan juga baju mati atau yang disebut siu-I ‘baju panjang
umur’. Orang tionghoa mengartikan wafat seperti sebuah kiasan lain yang juga
banyak digunakan ialah bahwa berpesiar ke kalangan dewa-dewa ataupun menunggang
seekor burung bangau, dimana kedua itu mempunyai asal Taoistis. Satu antara hal
yang dilakukan pertama-tama dalam soal kematian ialah membeli sebuah alat
penancap batang dupa ‘hio-lou’ yang ditempatkan diatas meja yang ditaruh
disamping jenazah dekat kakinya. Selain itu anggota keluarga memakai pakaian
dari kain belacu putih yang dikenakan terbalik dan juga kopiah dengan bahan itu
pula untuk para anak dan menantu laki-laki. Sembahyang yang diadakan dalam
upacara kematian adalah sembahyang masuk peti, sembahyang menggeser peti,
sembahyang hari kubur yang dimana sebuah semangka dipecahkan yang kata nya
untuk dibawa keakhirat nanti dan dipersembahkan kepada Giam Lo ong ‘Raja
akhirat’. Setelah itu diadakannya sembahyang tujuh hari yakni membakar
rumah-rumahan kertas mobil/motor kertas dan sebagainya. Dalam perkabungan
tersebut perkabungan enteng dinamakan memakai biru sedangkan perkabungan besar
disebut memakai putih dengan lama nya 3 tahun menurut peraturan peradaban
tionghoa.
Shio, 12 Jenis Binatang
Perhitungan Tahun. Bangsa tionghoa menghitung jarak waktu dengan kesatuan yang
terdiri atas 60 tahun, tiap kesatuan itu terjadi dari 5 kali 12 tahun. Ke dua
belas tahun ini dilambangkan masing-masing dengan seekor binatang ‘Cap ji shio’
yakni tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam,
anjing dan babi. Pergantian tahun melibatkan pergantian shio dimana umur
seseorang dapat dihitung dilihat berdasarkan shio. Perbedaan 6 tahun untuk
perjodohan dalam perhitungan shio sangat pantang oleh orang tionghoa. Selain
itu juga terdapat pantangan – pantangan ciong pada shio – shio tertentu yang
tidak boleh dilakukan saat ciong terjadi.
Sastra Indonesia-Tionghoa itu
sampai pada suatu batas bertalian agak erat dengan penerjemahan hasil sastra
Tiongkok ke dalam bahasa Melayu-Rendah. Penerjemah cerita-cerita rakyat
Tiongkok ini ke dalam bahsa Melayu-Rendah telah dimulai pada akhir abad ke-19.
Tiongkok tidaklah terlalu dikenal oleh kebanyakan orang Tionghoa kelahiran
Indonesia. Bahkan hampir sebagai sebah negri asing begi mereka.
Simbolik Tionghoa dalam Indonesia
cukup banyak dan mengandung makna tersendiri dari setiap simbol, seperti :
burung bangau dan buah pir melambangkan umur panjang, pohon bambu lambang
keuletan, naga lambang kekuasaan kekasisaran, kelelawar lambang bahagia, ikan
lambang berlbih-lebihan, pohon cinta kasih, dan sepasang kupu-kupu lambang
cinta kekal.Dan pada akhir buku ini menjelaskan tentang kehidupan kesenian
orang Tionghoa dari beberapa hasil seni Tiongkok yang terjadin dalam kehidupan
orang tionghoa di Indonesia. Orang Tionghoa datang ke Indonesia dengan membawa
kepercayaan mereka, Budhistis maupun Taoistis. Untuk melakukan kewajiban
kepercayaan maka di bangunlah kuil-kuil olah masyarakat Tionghoa.
Isi dalam buku ini menurut
kelompok kami sangat bagus sekali mengenai sejarah, tradisi, dan kebudayaan
orang Tionghoa yang sudah ada sejak turun menurun dari generasi ke generasi.
Dan bagi orang peranakan Tionghoa buku ini sangat membantu ingatan mereka
terhadap cerita, adat, dan tradisi yang telah diturunkan kepada mereka yang mungkin
mereka sedikit lupa akan hal itu.
Dengan di terbitkan kembali buku
ini dengan tulisan yang telah di perbaikin dan tidak sedikitpun dirubah. Isi
yang ada di dalam buku tersebut sangatlah bagus, karena didalam buku tersebut
sangatlah sistematis untuk dibaca oleh siapapun agar mengerti pesan dan
tradisi-tradisi yang disampaikan sangatlah jelas.
0 komentar:
Posting Komentar