Selasa, 26 April 2016

Resensi Buku Peradapan Tionghoa Selayang Pandang



Judul Buku : Peradaban Tionghoa Selayang Pandang
Penulis : Nio Joe Lan
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : 2013
Tebal Halaman : 364 hlm

Peradapan Tionghoa telah ratusan tahun lamanya mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagian ajaran filsafat karya sastra perayaaan hari besar, ilmu dagang, arsitektur, hingga kulinernya telah berkembang dan menjadi bagian dari budaya Indonesia masa kini.
Nio Joe Lan (1904-1973), penulis melayu Tionghoa terkemuka di zamannya, menuturkan dengan lugas dalam buku “Pradapan Tionghoa Selayang Padang”makna berbagai leluhur atau adat kebiasaan Tionghoa yang sering kita jumpai seperti : peringatan hari-hari besar Tionghoa, makna warna dalam kebudayaan Tionghoa, pemujaan leluhur dan bakti anak kepada orangtua, peristiwa duka cita dan suka ria Tionghoa, kaligrafi, dan perhitungan shio
Membaca buku ini kita di ajak melihat kembali akar peradaban yang menjadi salah satu unsur pembentukan budaya Indonesia
Didalam buku ini pertama menjelaskan nama Tionghoa. Nama Tionghoa terdiri atas 3-4 buah suku, dengan adanya suku pertama nama Tionghoa seseorang digunakan untuk suatu cara untuk mengenali sanak saudara, dengan cara mengertakan suku pertama nama orang tua kepada anaknya. Lalu  sebutan kekeluargaan dalam masyarakat Tionghoa sangatlah penting. Orang Tionghoa mempunyai sebutan-sebutan kekeluargaan terpenting, tetapi dalam sebutan-sebutan keluarga berdasarkan dialek Hokkian, dialek Hakka berbeda maknanya satu sama lain. Seorang Tionghoa menyebut orang lain yang lebih tua khususnya lelaki dengan sebutan Engko, Empe, Encek, Pek-hu, meskipun tidak ada hubungan persaudaraan tetapi kita dapat menghormati orang lain yang lebih tua dengan mengangapnya sebagai Kakak dari Ayah.
Makna warna bagi kehidupan orang tionghoa, warna sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Karena manusia memiliki ketertarikan pada warna, maka tersusunlah simbol warna pada beberapa bangsa dan agama. Warna Ungu unggul pada Zaman Chou (1027-21 SM) dalam sembahyang besar disajikannya seekor kerbau yang berbulu Unggu. Kuning melambangkan warna kekaisaran. Warna Merah melambangkan simbol Kebahagian, bahkan warna merah juga mempunyai arti tersendiri dalam perayaan Tahun Baru Imlek, pernikahan, hari ulangtahun dan kelahiran. Warna Putih melambangkan Simbol Perkabungan. Peranan Warna biru bagi Orang tionghoa terutama bagi golongan sarjana dan dalam hal kematian atau perkabungan. Dalam bahasa Tionghoa kata berwarna seringkali diterjemahkan dengan tujuh warna. Kata “tujuh” dalam hubungan ini harus diartikan semua.
Kepercayaan Tionghoa tentang apa yang dipandang sebagai agama. Seperti pengajaran Kung Tze, Tiong Hoa Hwee Koan dan konfusianisme, Taoisme Lao Tze, pemujaan berhala Budhistis di dalam rumah, Kuan Yin, Taopekkong – pelindung, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan sembahyang. Ini merupakan pengajaran atas kepercayan tersebut Orang Tionghoa memiliki penjelasan tersendiri atas makna dari dilakukannya hal ini. Pada dasarnya orang Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa ia memiliki perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Orang Tionghoa memiliki kebiasaan untuk menghormati leluhurnya dengan cara menyajikan makanan untuk mendiang orang yang telah meninggal. Hal ini sudah dilakukan sebelum zaman Kung Tze. Dengan aggapan bahwa arwah manusia yang hidup terus akan dilindungi oleh arwah leluhur. Orang Tionghoa menyebut bakti dengan sebutan “hao”. Bagi orang Tionghoa bakti terhadap orang tua menunjukkan norma anak  tersebut. Dalam pengajaran Kung Tze pemujaan leluhur dengan memelihara abu dirumah merupakan bakti, kewajiban tersebut harus diturunkan kepada anak laki-laki sebagai pewaris sehingga pada jaman ini memiliki anak laki-laki diharuskan.
Kaligrafi yaitu ilmu menulis huruf indah. Dalam menulis huruf tionghoa seseorang harus memiliki perasaan dan dalam penulisannya menggunakan alat yang bernama ‘pit’ agar tulisan tersebut terlihat indah.
Hari raya Tionghoa berhubungan dengan hari ulang tahun dewa-dewa yang dipuja oleh bangsa tionghoa. Tetapi di Indonesia tidak semua hari raya tionghoa dirayakan secara meriah. Hari raya tionghoa yang biasanya dirayakan diIndonesia yaitu Imlek yang merupakan hari tahun barunya orang tionghoa, Tjap Go Meh biasanya orang tionghoa melakukan sembahyang ‘sam kai’ yaitu sembahyang kepada langit,bumi,dan manusia, Tjeng Beng biasanya orang tionghoa membersihkan makam dan sembahyang dimakam leluhur, Phetjun biasanya orang tionghoa merayakan dengan mengadakan perlombaan perahu berbentuk naga  diatas air.
Suka ria Tionghoa yang menjadi alasan dalam bersuka ria adalah peristiwa kelahiran dan pernikahan. Dalam kelahiran didalam suasana bergembira, orang tionghoa mempercayai beberapa pantangan sebelum kelahiran itu terjadi. telur telur yang dimerahkan kulitnya menjadi suatu pemberitahuan kepada sanak keluarga atas kelahiran seorang anak. Dan perayaan mo-gue digelar untuk merayakan anak tersebut genap satu bulan kelahirannya, setelah satu tahun dirayakan hari ulang tahun pertama anak itu dengan dikenakannya pakaian yang serba baru. Menurut pandangan tionghoa, umur sesorang bertambah pada saat tahun baru imlek dirayakan. Perayaan ulang tahun orang tionghoa jika sudah dewasa maka anak-anaknya yang merayakannya sebagai tanda bakti kepada orangtuanya, dimana dapat dilakukan shejit besar yakni diatas umur 50 tahun seperti tahun ke-51, ke-61, ke-71 dan selanjutnya yang berhubungan dengan angka satu dimana melambangkan kesepuluhan tahun yang baru. Hadiah khas ulang tahun bangsa tionghoa adalah mishoa dan gula batu yakni melambangkan suatu doa panjang umur. Selain kelahiran, suka ria terjadi pada pernikahan. Upacara pernikahan orang tionghoa-totok berbeda dengan upacara perkawinan tionghoa-peranakan. Pernikahan tersebut didasari oleh ‘Phe Dji’  perhitungan horoskop kedua pihak. Pakaian mempelai pria ialah jubah biru dengan kopiah cetok dan mempelai wanita yang berwarna merah marun beserta kembang goyang dan dilakukan cio-tau dan sembahyang kepada tuhan ‘sam kai’ dan hanya boleh sekali. Pada jaman dahulu dipantang keras menikah dengan sesama she karna dianggap pernikahan antara sanak keluarga. She wanita tetap dipakai walaupun sudah menikah.
Disamping suka ria juga duka cita, dialami seseorang jika sanak keluarganya jatuh sakit dan selain itu adalah kematian. Di Indonesia, ada orang tionghoa yang sudah menyediakan satu buah peti jenazah, dengan maksud agar tidak merepotkan bila terbit suatu kebutuhan akan itu. Dan juga baju mati atau yang disebut siu-I ‘baju panjang umur’. Orang tionghoa mengartikan wafat seperti sebuah kiasan lain yang juga banyak digunakan ialah bahwa berpesiar ke kalangan dewa-dewa ataupun menunggang seekor burung bangau, dimana kedua itu mempunyai asal Taoistis. Satu antara hal yang dilakukan pertama-tama dalam soal kematian ialah membeli sebuah alat penancap batang dupa ‘hio-lou’ yang ditempatkan diatas meja yang ditaruh disamping jenazah dekat kakinya. Selain itu anggota keluarga memakai pakaian dari kain belacu putih yang dikenakan terbalik dan juga kopiah dengan bahan itu pula untuk para anak dan menantu laki-laki. Sembahyang yang diadakan dalam upacara kematian adalah sembahyang masuk peti, sembahyang menggeser peti, sembahyang hari kubur yang dimana sebuah semangka dipecahkan yang kata nya untuk dibawa keakhirat nanti dan dipersembahkan kepada Giam Lo ong ‘Raja akhirat’. Setelah itu diadakannya sembahyang tujuh hari yakni membakar rumah-rumahan kertas mobil/motor kertas dan sebagainya. Dalam perkabungan tersebut perkabungan enteng dinamakan memakai biru sedangkan perkabungan besar disebut memakai putih dengan lama nya 3 tahun menurut peraturan peradaban tionghoa.
Shio, 12 Jenis Binatang Perhitungan Tahun. Bangsa tionghoa menghitung jarak waktu dengan kesatuan yang terdiri atas 60 tahun, tiap kesatuan itu terjadi dari 5 kali 12 tahun. Ke dua belas tahun ini dilambangkan masing-masing dengan seekor binatang ‘Cap ji shio’ yakni tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing dan babi. Pergantian tahun melibatkan pergantian shio dimana umur seseorang dapat dihitung dilihat berdasarkan shio. Perbedaan 6 tahun untuk perjodohan dalam perhitungan shio sangat pantang oleh orang tionghoa. Selain itu juga terdapat pantangan – pantangan ciong pada shio – shio tertentu yang tidak boleh dilakukan saat ciong terjadi.
Sastra Indonesia-Tionghoa itu sampai pada suatu batas bertalian agak erat dengan penerjemahan hasil sastra Tiongkok ke dalam bahasa Melayu-Rendah. Penerjemah cerita-cerita rakyat Tiongkok ini ke dalam bahsa Melayu-Rendah telah dimulai pada akhir abad ke-19. Tiongkok tidaklah terlalu dikenal oleh kebanyakan orang Tionghoa kelahiran Indonesia. Bahkan hampir sebagai sebah negri asing begi mereka.
Simbolik Tionghoa dalam Indonesia cukup banyak dan mengandung makna tersendiri dari setiap simbol, seperti : burung bangau dan buah pir melambangkan umur panjang, pohon bambu lambang keuletan, naga lambang kekuasaan kekasisaran, kelelawar lambang bahagia, ikan lambang berlbih-lebihan, pohon cinta kasih, dan sepasang kupu-kupu lambang cinta kekal.Dan pada akhir buku ini menjelaskan tentang kehidupan kesenian orang Tionghoa dari beberapa hasil seni Tiongkok yang terjadin dalam kehidupan orang tionghoa di Indonesia. Orang Tionghoa datang ke Indonesia dengan membawa kepercayaan mereka, Budhistis maupun Taoistis. Untuk melakukan kewajiban kepercayaan maka di bangunlah kuil-kuil olah masyarakat Tionghoa.

Isi dalam buku ini menurut kelompok kami sangat bagus sekali mengenai sejarah, tradisi, dan kebudayaan orang Tionghoa yang sudah ada sejak turun menurun dari generasi ke generasi. Dan bagi orang peranakan Tionghoa buku ini sangat membantu ingatan mereka terhadap cerita, adat, dan tradisi yang telah diturunkan kepada mereka yang mungkin mereka sedikit lupa akan hal itu.
Dengan di terbitkan kembali buku ini dengan tulisan yang telah di perbaikin dan tidak sedikitpun dirubah. Isi yang ada di dalam buku tersebut sangatlah bagus, karena didalam buku tersebut sangatlah sistematis untuk dibaca oleh siapapun agar mengerti pesan dan tradisi-tradisi yang disampaikan sangatlah jelas.

0 komentar:

Posting Komentar